Pewayangan Indonesia
I.
Perkembangan Wayang
Menurut penelitian
para ahli sejarah budayawan, budaya wayang merupakan budaya asli Indonesia yang
berasal dari pulau Jawa. Wayang sudah ada di Indonesia berabad-abad sebelum
agama Hindu masuk ke pulau Jawa. Cerita wayang yang sering dan popular di
masyarakat adalah adaptasi dari karya sastra India, yaitu Ramayana dan
Mahabhrata yang mengalami perubahan dan penambahan yang disesuaikan dengan
budaya dan falsafah asli Indonesia. Dalam kitab Centini, asal-usul wayang Purwa
disebutkan bahwa kesenian wayang pertama kali diciptakan oleh Raja Jayabaya
dari Kerajaan Memenang/Kediri sekitar abad ke 10. Bentuk gambaran wayang
tersebut ditiru dari relief cerita Ramayana pada Candi Penataran di Blitar.
Setelah Raja
Jenggala, Sri Lembuami wafat, perintah kemudia dipegang oleh puteranya yaitu
Raden Panji Rawisrengga yang bergelar Sri Suryawisesa yang sema berkuasa beliau
tela menyempurnakan bentuk wayang purwa. Dalam pagelaran wayang tersebut
diiringi dengan gamelan berlaras slendro, setelah Sri Suryawisesa wafat
pemerintahan dipegang oleh puteranya yaitu Raden Kudalaleyan yang bergelar
Surya amiluhur yang pada pemerintahannya lebih menyempurnakan lagi wayang.
Perkembangan wayang
selanjutnya adalah pada zama Majapahit. Gambaran wayang diataskertas pada masa
itu disempurnakan dengan ditambah bagian-bagian kecil yang digulung menjadi
satu. Wayang gulungan tersebut saat akan dimainkan maka gulungan harus dibeber
(dibentangkan). Maka, wayang ini kemudian biasa disebut wayang beber. Masyarakat mulai bisa menikmati keindahan
kesenian wayang meskipun dalam pertunjukkannya hanya diiringi alat musik Rebab
dan lakonnya terbatas pada lakon Murwakala, yaitu lakok khusus upacara ruwatan.
Pada masa
pemerintahan Raja Brawijaya terakhir, puteranya yang bernama Radne Sungging
Prabangkara memiliki keahlian melukis. Bakat puteranya ini dimanfaatkan Raja
Brawijaya untuk menyempurnakan wujud wayang beber dengan cat. Pewarnaan wayang
disesuaikan dengan wujud serta martabat dari tokoh wayangnya. Perkembangan wayang
beber saat itu semakin marak, dan setelah runtuhnya kerajaan Majapahit, maka
wayang beserta gamelannya diboyong ke Demak. Hal ini karena Sultan Demak Syah
Alam Akbar I sangat menyukai seni karawitan dan pertunjukkan wayang. Untuk enghilangkan
kesan yang berbau Hindu, maka muncullah gagasan baru untuk menciptakan wayang
dalam wujud baru dengan menghilangkan wujud gambaran manusia. Berkat keuletan
dan keterampilan para pengikut Islam yang gemar akan kesenian wayang, terutama
para Wali, maka berhasil diciptakan bentuk baru dari wayang yang terbuat dari
bahan kulit kerbau yang ditipiskan dengan wayang digambarkan miring, ukuran
tangan lebih panjang dari ukuran tangan manusia.
Pada masa itu
wayang mengalami perkembangan dan perubahan besar, selain bentuk wayang yang
baru, teknik pakelirannya pun diganti menggunakan sarana kelir/layar,
menggunakan pohon pisang sebagai temat menancapkan wayang, menggunakan
belonging sebagai sarana penerangan, dan menggunakan kotak sebagai alat untuk
menyimpan wayang. Diciptakan pula alat khusus untuk memukul kotak yang disebut
cempala. Namun dalam pagelaran masih mengangkat cerita atau lakon baku dari
serat Ramayana dan Mahabharata, namun sudah mulai dimasukkan unsur dakwah. Sedangkan
wayang beber yang merupakan sumber,
kemudian dikeluarkan dari pagelaran istana dan masih tetap dipertunjukkan di
luar lingkungan istana.
II.
Sinopsis
Ramayana
Kisah Ramayana diawali dengan adanya
seseorang bernama Rama, yaitu putra mahkota Prabu Dasarata di Kosala dengan
ibukotanya Ayodya. Tiga saudara tirinya bernama Barata, Laksmana, dan Satrukna.
Rama lahir dari isteri pertama Dasarata bernama Kausala, Barata dari isteri
keduanya bernama Kaikeyi serta Laksmana dan Satrukna dari istrinya ketiga
bernama Sumitra. Mereka hidup rukun. Sejak remaja, Rama dan Laksmana berguru
kepada Wismamitra sehingga menjadi pemuda yang tangguh. Rama kemudan mengikuti
sayembara di Matila ibukota negara Wideha. Berkat keberhasilannya menarik busur
pusaka milik Prabu Janaka, ia dihadiahi putri sulungnya bernama Sinta, sedangkan
Laksmana dinikahkan dengan Urmila, adik Sinta.
Setelah
Dasarata tua, Rama yang direncanakan untuk menggantikannya menjadi raja, gagal
setelah Kaikeyi mengingatkan janji Dasarata bahwa yang berhak atas tahta adalah
Barata dan Rama harus dibuang selama 15 tahun. Atas dasar janji itulah dengan
lapang dada Rama pergi mengembara ke hutan Dandaka, meskipun dihalangi ibunya
maupun Barata sendiri. Kepergiannya itu diikuti oleh Sinta dan Laksmana.
Namun kepergian Rama membuat Dasarata sedih dan akhirnya meninggal. Untuk
mengisi kekosongan singgasana, para petinggi kerajaan sepakat
mengangkat Barata sebagai raja. Tapi ia menolak, karena menganggap bahwa takhta
itu milik Rama, sang kakak. Untuk itu Barata disertai parajurit dan
punggawanya, menjemput Rama di hutan. Saat ketemu kakaknya, Barata sambil
menangis menuturkan perihal kematian Dasarata dan menyesalkan kehendak ibunya,
untuk itu ia dan para punggawanya meminta agar Rama kembali ke Ayodya dan naik
takhta. Tetapi Rama menolak serta tetap melaksanakan titah ayahandanya dan
tidak menyalahkan sang ibu tiri, Kaikeyi, sekaligus membujuk Barata agar
bersedia naik takhta. Setelah menerima sepatu dari Rama, Barata kembali ke
kerajaan dan berjanji akan menjalankan pemerintahan sebagai wakil kakaknya. Banyak
cobaan yang dihadapi Rama dan Laksmana, dalam pengembaraannya di hutan. Mereka
harus menghadapi para raksasa yang meresahkan masyarakat di sekitar hutan
Kandaka itu. Musuh yang menjengkelkan adalah Surpanaka, raksesi yang
menginginkan Rama dan Laksmana menjadi suaminya. Akibatnya, hidung dan telinga
Surpanaka dibabat hingga putus oleh Laksmana. Dengan menahan sakit dan malu,
Surpanaka mengadu kepada kakaknya, yaitu Rahwana yang menjadi raja
raksasa di Alengka, sambil membujuk agar Rahwana merebut Sinta dari tangan
Rama. Dengan bantuan Marica yang mengubah diri menjadi kijang keemasan, Sinta
berhasil diculik Rahwana dan dibawa ke Alengka.
Burung Jatayu yang berusaha
menghalangi, tewas oleh senjata Rahwana. Sebelum menghembuskan nafasnya yang
terakhir, Jatayu masih sempat mengabarkan nasib Sinta kepada Rama dan Laksmana
yang sedang mencarinya. Dalam mencari Sinta, Rama dan Laksamana
berjumpa pembesar kera yang bernama Sugriwa dan Hanuman. Mereka
mengikat persahabatan
dalam suka dan duka. Dengan bantuan Rama, Sugriwa dapat bertahta kembali di
Kiskenda setelah berhasil mengalahkan Subali yang lalim. Setelah itu, Hanuman
diperintahkan untuk membantu Rama mencari Sinta. Dengan pasukan kera yang
dipimpin Anggada, anak Subali, mereka pergi mencari Sinta. Atas petunjuk Sempati,
kakak Jatayu, mereka menuju ke pantai selatan. Untuk mencapai Alengka, Hanuman
meloncat dari puncak gunung Mahendra. Setibanya di ibukota Alengka, Hanuman
berhasil menemui Sinta dan mengabarkan bahwa Rama akan segera membebaskannya.
Sekembalinya dari Alengka, Hanuman melapor kepada Rama. Strategi penyerbuan pun
segera disusun. Atas saran Wibisana, adik Rahwana yang membelot ke pasukan
Rama, dibuatlah jembatan menuju Alengka. Setelah jembatan jadi, berhamburanlah
pasukan kera menyerbu Alengka. Akhirnya, Rahwana dan pasukannya hancur.
Wibisana kemudian dinobatkan menjadi raja Alengka, menggantikan kakaknya yang
mati dalam peperangan. Yang menarik dan sampai saat ini sangat populer di Jawa,
adalah adanya ajaran tentang bagaimana seharusnya seseorang memerintah sebuah
kerajaan atau negara dari Rama kepada Wibisana, yang dikenal dengan sebutan
ASTHABRATA.
Setelah berhasil membebaskan Sinta,
pergilah Rama dan Sinta serta Laksmana dan seluruh pasukan (termasuk pasukan
kera) ke Ayodya. Setibanya di ibukota negera Kosala itu, mereka disambut dengan
meriah oleh Barata, Satrukna, para ibu Suri, para punggawa dan para
prajurit, serta seluruh rakyat Kosala. Dengan disaksikan oleh mereka, Rama
kemudian dinobatkan menjadi raja.
Mahabharata
Secara garis
besar, cerita Mahabarata bercerita mengenai kehidupan Prabu Santanu atau
Sentanu (Çantanu). Dia adalah seorang raja keturunan keluarga Kuru yang menjadi
raja kerajaan Barata. Dia mempunyai permaisuri bernama Dewi Gangga, dan
berputra Bisma. Isi epos Mahabarata secara garis besar mengisahkan kehidupan
Santanu (Çantanu) seorang raja yang perkasa keturunan keluarga Kuru dan
bertakhta di kerajaan Barata. Bersama permaisurinya Dewi Gangga, mereka
dikaruniai seorang putra bernama Bisma. Pada suatu hari Çantanu jatuh cinta
pada seorang anak raja nelayan bernama Setyawati. Namun ayahanda Setyawati
hanya mau memberikan putrinya jika Çantanu kelak mau menobatkan anaknya dari
Setyawati sebagai putra mahkota pewaris takhta dan bukannya Bisma. Karena
syarat yang berat ini Çantanu terus bersedih. Melihat hal ini, Bisma yang tahu
mengapa ayahnya demikian, merelakan haknya atas takhta di Barata diserahkan
kepada putra yang kelak lahir dari Setyawati. Bahkan Bisma berjanji tidak akan
menuntut itu kapan pun dan berjanji tidak akan menikah agar kelak tidak
mendapat anak untuk mewarisi takhta Çantanu. Perkawinan Çantanu dan Setyawati
melahirkan dua orang putra masing-masing Citranggada dan Wicitrawirya. Namun
kedua putra ini meninggal dalam pertempuran tanpa meninggalkan keturunan.
Karena takut punahnya keturunan raja, Setyawati memohon kepada Bisma agar
menikah dengan dua mantan menantunya yang ditinggal mati oleh Wicitrawirya,
masing-masing Ambika dan Ambalika. Namun permintaan ini ditolak Bisma mengingat
sumpahnya untuk tidak menikah. Akhirnya
Setyawati meminta kepada Wiyasa, anaknya dari perkawinan yang lain, untuk
menikah dengan Ambika dan Ambalika. Perkawinan dengan Ambika melahirkan
Destarasta dan dengan Ambalika melahirkan Pandu. Destarasta lalu menikah dengan
Gandari dan melahirkan seratus orang anak, sedangkan Pandu menikahi Kunti dan
Madrim tapi tidak mendapat anak. Nanti ketika Kunti dan Madrim kawin dengan
dewa-dewa, Kunti melahirkan 3 orang anak masing dengan dewa Darma lahirlah
Yudistira, dengan dewa Bayu lahir Werkodara atau Bima dan dengan dewa Surya
lahirlah Arjuna. Sedangkan Madrim yang menikah dengan dewa kembar Aҫwin, lahir
anak kembar bernama Nakula dan Sadewa.
Selanjutnya,
keturunan-keturuan itu dibagi dua yakni keturunan Destarasta disebut Kaum
Kurawa sedangkan keturunan Pandu disebut kaum Pandawa. Sebenarnya Destarasta
berhak mewarisi takhta ayahnya, tapi karena ia buta sejak lahir, maka takhta
itu kemudian diberikan kepada Pandu. Hal ini pada kemudian hari menjadi sumber
bencana antara kaum Pandawa dan Kurawa dalam memperebutkan takhta sampai
berlarut-larut, hingga akhirnya pecah perang dahsyat yang disebut Baratayuda
yang berarti peperangan memperebutkan kerajaan Barata. Peperangan diawali
dengan aksi judi dimana kaum Pandawa kalah. Kekalahan ini menyebabkan mereka
harus mengembara di hutan belantara selama dua belas tahun. Setelah itu, pada
tahun ke-13 sesuai perjanjian dengan Kurawa, para Pandawa harus menyembunyikan
diri di tempat tertentu. Namun para Pandawa memutuskan untuk bersembunyi di
istana raja Matsyapati. Pada tahun berikutnya, para Pandawa keluar dari
persembunyian dan memperlihatkan diri di muka umum lalu menuntut hak mereka
kepada Kurawa. Namun tuntutan mereka tidak dipenuhi Kurawa hingga terjadi
perang 18 hari yang menyebabkan lenyapnya kaum Kurawa. Dengan demikian, kaum
Pandawa dengan leluasa mengambil alih kekuasaan di Barata. Sumber: kisah
mahabarata Silsilah Kurawa dan Pandawa di atas adalah menurut versi Indonesia.
Dalam versi India, para Pandawa bukanlah keturunan para dewa, Pandawa merupakan
keturunan dari raja Nahusta, seorang raja di India. Silsilah Pandawa dan Kurawa
versi India sumber: silsilah-mahabarata Menurut Mahabharat versi India, susunan
silsilah itu disusun sebagai berikut, raja pertama yang memerintah India ialah
Prabu Nahusta sebagai pendiri negara Hastina yang menurunkan raja-raja yaitu
Prabu Nahusta, Prabu Yayati, Prabu Kuru, Prabu Dusanta, Prabu Barata, Prabu
Hasti, Prabu Puru, Prabu Pratipa, Prabu Santanu hingga sampai Pandawa dan
Kurawa. Prabu Yadawa menurunkan raja-raja yang memerintah Mathura, seperti:
Basudewa, Baladewa, Kresna dan lain-lainya. Prabu Puru yang menurunkan
raja-raja yang memerintah negara Hastina, seperti Sentanu, Abiyasa, Pandu,
Duryudana, Parikesit. Prabu Kuru berputra Prabu Dusanta yang menikah dengan
Dewi Sakuntala dan berputra Prabu Barata yang namanya dipakai gelar/julukan
para Pandawa, sedangkan nama Prabu Kuru dipakai gelar para Kurawa. Silsilah
Mahabharata versi Pustaka Raja Purwa Dimulai dari Batara Guru yang menikah dengan
Dewi Uma, berputra empat orang di antaranya Dewa Brahma dan Dewa Wisnu. Batara
Brahma menikah dengan Dewi Raraswati berputrakan sebelas orang, di antaranya
Batara Brahmanaraja yang menikah dengan Dewi Widati dan berputra Batara
Parikenan. Sedangkan Batara Wisnu
berputrakan Prabu Basurata yang menikah dengan putri Batara Brahma bernama Dewi
Brahmaniyuta, dan berputrakan Dewi Brahmaneki. Begawan Parikenan kemudian
menikah dengan Dewi Brahmaniyuta berputrakan Dewi Kaniraras, Raden Kano, Raden
paridarma. Karena Dewi Kaniraras putri sulung, maka calon raja di Purwacarita
adalah Begawan Manumayasa yang menikah dengan Dewi Kaniraras. Raden Kano dan
Raden Paridarma menjadi raja di negara lain. Dewi Kaniraras menkah dengan
Begawan Manumayasa berputra Begawan Sekutrem dan menikah dengan Dewi Nilawati,
dari pernikahan itu berputra Begawan Sakri yang menikah dengan Dewi Sati dan
berputra Parasara. Diceritakan, bahwa Begawan Parasara hendak menyeberangi
Bengawan Jamuna, ia diseberangkan oleh seorang wanita yang badanya bau amis dan
anyir karena menderita penyakitat bau anyir, dia adalah Dewi Rara Amis
(Durgandini) putra Prabu Basuketi raja negara Wiratha. Dewi Rara Amis diobati
Raden Parasara yang kemudian diperistri dan berputra Abiyasa, mereka
bersama-sama membangun negara Gajahoya. Perbedaan yang jelas dari kedua
silsilah itu adalah silsilah Mahabharata versi India disebutkan leluhur Pandawa
adalah Prabu Nahusta, leluhur Pandawa versi Pusta Raja Purwa adalah Sang Hyang.
I.
Metode Penelitian
Metode
yang digunakan dalam makalah ini, yaitu : metode wawancara dan metode
observasi. Metode wawancara adalah suatu bentuk komunikasi untuk mencapai
tujuan tertentu. Dalam wawancara pihak-pihak yang diwawancarai dan yang
mewawancarai terlibat dalam proses kontak dan pertukaran informasi.
Sedangkan
metode observasi adalah pencatatan secara sistematis mengenai tingkah laku
dengan melihat atau mengamati individu atau kelompok secara langsung. Cara atau
metode tersebut dapat dikatakan dengan menggunakan teknik dan alat-alat khusus
seperti blangko-blangko, checklist, atau daftar isian yang telah dipersiapkan
sebelumnya.
II.
Teori
Menurut
Allport,kepribadian adalah sesuatu yang terorganisasikan dan terpolakan. Kepribadian
itu sendiri bukanlah pengorganisasian yang statis, terus berubah atau tumbuh. Allport
mengungkapkan istilah “karakteristik” yang digunakan untuk menunjukkan “individualitas”
atau “keunikan”. Individu-individu yang
sehat dikatakan mempunyai fungsi yang baik pada tingkat rasional dan sadar.
Menyadari sepenuhnya kekuatan-kekuatan yang membimbing mereka dan dapat
mengontrol kekuatan-kekuatan itu juga. Kepribadian yang matang tidak dikontrol
oleh trauma-trauma dan konflik-konflik masa kanak-kanak. Dimana orang orang
yang neurotis terikat dan terjalin erat pada pengalaman pengalaman masa
kanak-kanak, berbeda dengan orang-orang yang sehat yang bebas dari
paksaan-paksaan masa lampau.
Allport
mempelopori adanya ‘The Big Five Theory’ yang terdiri dari:
1.
Extraversion
Dapat memprediksi banyak tingkah laku
sosial. seseorang yang memiliki faktor extraversion yang tinggi, akan mengingat
semua interaksi sosial, berinteraksi dengan lebih banyak orang dibandingkan
dengan seseorang dengan tingkat extraversion yang rendah. Dalam berinteraksi,
mereka juga akan lebih banyak memegang kontrol. Extraversion dicirikan dengan hal-hal
positif seperti memiliki antusiasme yang tinggi, senang bergaul, memiliki emosi
yang positif, energik, tertarik dengan banyak hal, ambisius, workaholic juga
ramah terhadap orang lain. Extraversion memiliki tingkat motivasi yang tinggi
dalam bergaul, menjalin hubungan dengan sesama dan juga dominan dalam
lingkungannya Extraversion dapat memprediksi perkembangan dari hubungan sosial.
2.
Agreeableness
Seseorang yang masuk dalam jenis ini
adalah seseorang yang ramah, memiliki kepribadian yang selalu mengalah,
menghindari konflik dan memiliki kecenderungan untuk mengikuti orang lain.
3.
Consciousness
Dalam hal ini seseorang mempunyai kontrol
terhadap lingkungan sosial, berpikir sebelum bertindak, menunda kepuasan,
mengikuti peraturan dan norma, terencana, terorganisir, dan memprioritaskan
tugas. Di sisi negatifnya trait kepribadian ini menjadi sangat perfeksionis,
kompulsif, workaholic, membosankan. Tingkat conscientiousness yang rendah
menunjukan sikap ceroboh, tidak terarah serta mudah teralih perhatiannya.
4.
Neuroriticism
Dalam hal ini mendeskripsikan bahwa seseorang
yang memiliki masalah dengan emosi yang negatif seperti rasa khawatir dan rasa
tidak aman. Secara emosional mereka labil, seperti juga teman-temannya yang
lain, mereka juga mengubah perhatian menjadi sesuatu yang berlawanan. Seseorang
yang memiliki tingkat neuroticism yang rendah cenderung akan lebih gembira dan
puas terhadap hidup dibandingkan dengan seseorang yang memiliki tingkat
neuroticism yang tinggi. Selain memiliki kesulitan dalam menjalin hubungan dan
berkomitmen, mereka juga memiliki tingkat self esteem yang rendah. Individu
yang memiliki nilai atau skor yang tinggi di neuroticism adalah kepribadian
yang mudah mengalami kecemasan, rasa marah, depresi, dan memiliki kecenderungan
emotionally reactive.
5.
Openness to experience
Seseorang yang tergolong dalam jenis
ini mempunyai ciri mudah bertoleransi, kapasitas untuk menyerap informasi,
menjadi sangat fokus dan mampu untuk waspada pada berbagai perasaan, pemikiran
dan impulsivitas .
Analisis Tokoh
Ramayana
Tokoh-tokoh :
1. Hanoman
Dalam sifatnya yang protagonis, tetapi tokoh
tersebut masuk kedalam sifat extraversion dan consciousness karena tokoh
tersebut tidak langsung ingin membunuh Rama melainkan mempertanyakan terlebih
dahulu maksud dan tujuan datang.
2. Sri Rama
Dalam tokoh ini mempunyai sifat consciousness
dan openness karena tokoh tersebut memiliki watak rajin, sopan, lembut hati,
rela berkorban, tidak putus asa dan selalu sabar serta setia.
3. Dewi Shinta
Dalam pewayangan tokoh ini termaksud ke dalam
protagonis, setia yang artinya tokoh ini termaksud kedalam sifat agreeableness
dalam big five theory.
Mahabharata
Tokoh-tokoh :
1.
Bima
Sosok dalam pewayangan ini terkenal dengan gagah
berani, jujur, patuh dan memiliki sifat yang cenderung kasar. Tetapi walaupun
sosok ini sering dikatakan memiliki sikap yang kasar namun sebenarnya sosok ini
memiliki hati yang lemah lembut dan tak pernah berdusta pada omongannya sendiri.
Dalam big five theory tokoh tersebut
masuk ke dalam sifat consciousness.
2.
Arjuna
Sosok pewayangan ini memiliki watak berani, suka
melidungi yang lemah, sopan-santun, dan pendiam yang artinya tokoh ini
termaksud ke dalam sifat extraversion dalam big
five theory.
Kesimpulan
Kini
kisah-kisah wayang yang hampir dilupakan oleh remaja sebenarnya memiliki
manfaat yang banyak untuk bangsa Indonesia. Karena dalam perwayangan sebenarnya
kita bisa lebih mudah untuk mengenalkan pancasila serta pengamalan-pengamalan
pada sila-sila yang terkandung. Ketika kita paham mengenai cerita kedua
pewayangan tersebut sebenarnya kita dapat lebih bisa menghargai hidup karena
sebenarnya ketika kita benar-benar menyimak maka wayang tersebut akan hidup
dalam diri kita karena pertunjukkan wayang sebenarnya adalah sebuah miniatur
kecil untuk memperlihatkan bagaimana dunia yang sebenarnya.
Diskusi
Kesulitan-kesulitan yang dialami pada saat
penulisan, seperti : kurang pahamnya materi ketika dijelaskan di dalam kelas
karena keadaan kelas yang kurang kondusif menjadi kendala saat melakukan
penulisan makalah ini. Lalu terlalu padatnya isi slide yang ditampilkan pada
saat pembelajaran menjadikan saya kurang berminat untuk mencatat apa yang ada
di dalam slide tersebut.
referensi lain
Tidak ada komentar:
Posting Komentar